Leadership is all about relationship, sedangkan membangun dan merawat relasi/hubungan dengan baik dibutuhkan kecerdasan emosi. Karena itu, seorang pemimpin tanpa kecerdasan emosi yang baik akan sulit mendapatkan kepercayaan pengikutnya, bahkan mereka mungkin menjauhinya. Karena itu, mustahil membangun kepemimpinan efektif tanpa adanya kecerdasan emosi. Hal inilah yang pernah dinyatakan oleh Shankman dalam “Emotionally Intelligent Leadership” (2008), ada tiga kesadaran yang harus dilatih para pemimpin yang ingin mengembangkan kecerdasan emosionalnya: kesadaran akan diri, kesadaran akan orang lain, dan kesadaran akan konteks. Kesadaran akan diri menuntut kita jujur mengenali emosi diri. Kesadaran akan orang lain mengharuskan kita memperhatikan karakter setiap anggota organisasi atau pemimpin dalam organisasi. Kesadaran akan konteks menuntut kita mengenali lingkungan, budaya ataupun norma tempat kita bekerja.
Banyak orang tidak memiliki kesadaran akan orang lain dan konteks. Hal itu membuat mereka gagal memimpin, karena mereka berpikir bahwa cara memimpin yang sama di masa lalu bisa diterapkan pada masa kini. Biasanya orang tersebut mulai menyalahkan keadaan atau menyalahkan anggotanya. Dengan memiliki kesadaran akan diri, orang lain dan konteks seorang pemimpin mudah membagi nilai dan visi kepada anggota-anggotanya, karena mereka memahami bagaimana cara menyampaikan nilai dan visi tersebut kepada para anggota, terlebih sekadar meminta partisipasi anggota-anggotanya. Karena itu, kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor kepemimpinan efektif.
Pemimpin perlu mengelola suasana hati organisasinya. Pemimpin yang paling berbakat melakukan hal itu dengan menggunakan suatu campuran misterius berbagai kemampuan psikologis yang disebut kecerdasan emosi. Mereka sadar diri dan ber-empati. Mereka dapat membaca dan mengatur emosi dirinya sementara secara intuitif menangkap bagaimana perasaan orang lain dan mengukur keadaan emosi organisasinya. Kecerdasan emosi sebagian merupakan fungsi bawaan genetik, sebagian adalah pengalaman hidup, dan sebagian lagi adalah pelatihan. Kecerdasan emosi berbeda-beda tingkatnya antara satu pemimpin dan yang lain, dan manajer menerapkannya dengan ketrampilan yang berbeda-beda pula. Kalau dipergunakan dengan bijak dan simpatik, kecerdasan emosi akan memacu pemimpin, orang-orangnya, dan organisasinya hingga mencapai kinerja yang luar biasa. Sebaliknya, kalau dipergunakan secara naif dan melenceng, kecerdasan emosi dapat melumpuhkan pemimpin atau memungkinkan mereka memanipulasi para pengikutnya untuk kepentingan pribadi. Sadar diri adalah ketrampilan-kunci dari kecerdasan emosi yang ada di belakang kepemimpinan yang baik.